Jumat, 25 November 2011

Dear Diary (part 1)


September…

Awal perjumpaanku denganmu,

Awal aku mengenalmu,

Awal aku…merasakan getaran aneh yang menggebu didalam lubuk hatiku.


***


Terik matahari begitu menyengat, membakar kulitku. Sepertinya ia tak mau bersahabat denganku hari ini. Huh, menyebalkan sekali. Aku tengah berjalan menelusuri trotoar menuju toko buku ‘Gramedia’. Memang tidak terlalu jauh dari kampusku, hanya berjarak 2 kilometer, hingga akhirnya aku putuskan untuk berjalan kaki. Aku tak tau bahwa matahari diluar sana tengah berupaya menghanguskan penduduk bumi.

Aku menyeka beberapa bulir keringat yang sebagian besar sudah meluncur bebas ke tanah. Ku rapatkan semua jemari tangan kananku, lalu ku kibaskan tepat di depan wajahku. Gerah sekali. Akhirnya, didepan sana toko buku ‘Gramedia’ itu berada. Aku berlari, segera membawa tubuhku menuju toko buku yang ber-AC itu. Saat ku lihat tulisan yang bertengger tepat didepan pintu toko. CLOSED. Bersusah payah aku berjalan menuju kemari, ternyata tempat yang ku tuju, tutup?

Aku mendesah pelan. Sebal tentu saja. Tak menghargai jerih payahku melawan terik sinar matahari rupanya toko ini. Dengan langkah gontai, ku seret kembali kakiku menuju warung kecil yang tepat berada di sebrang toko ini.

“bu, teh botolnya satu.” Aku langsung memesan minum saat aku sampai di depan warung.

“ini neng.” Seorang ibu paruh baya menyodorkan pesananku tadi.

Lalu dengan gerakan cepat, aku menyeruput teh botolku. Hah, lega.

“berapa bu?”

“lima ribu neng.” Aku menyodorkan selembar uang lima ribuan pada si ibu pemilik warung.

Aku berjalan menuju tepi jalan raya, menunggu mobil bus tujuan jalan rumahku. Tak perlu menunggu lama, bus itu datang. Aku masuk, dan….penuh sekali! Aku berdiri bersama penumpang lainnya. Tak lama, ada yang menyenggol lenganku dari belakang. Aku terkejut, dan menoleh. Kudapati seorang lelaki berseragam SMA itu tersenyum padaku.

“silahkan duduk mbak.” Ujarnya seraya berdiri dan mempersilahkanku duduk di tempat duduknya.

“terimakasih.” Balasku. Tanpa ba-bi-bu aku langsung menyambar tempat duduknya. Nyaman sekali.

Ia kembali menoleh padaku, mengangguk lalu menyuguhkahkan senyum manisnya. Tampaaaan sekali! Aku melongo melihat pria itu. Jaman sekarang, masih ada anak seusia SMA yang begitu sopan memperlakukan perempuan, dan lebih tua darinya?

“mau kemana mbak?” tanyanya, untuk ketiga kalinya ia kembali menoleh padaku.

“ma mau pulang.” Jawabku terbata.

“memangnya rumah mbak dimana?” tanyanya –lagi-.

“di Jalan Kebayoran Lama.”

“kalau begitu sama. Kebetulan saya juga tinggal di Jalan Kebayoran Lama.” Ujarnya menerangkan, tanpa ku tanya.

Dia tinggal sejalan denganku? Benarkah? Sepertinya, selama aku tinggal disana kurang lebih dua puluh tahun, aku belum pernah melihatnya.

“oh iya, Saya Mario. Mbak bisa panggil saya Rio. Nama mbak siapa?” Ia bertanya –lagi-. Tolong, berhentilah menanyaiku! Aku gugup sekali.

“sa saya Ashilla. Kau bisa memanggilku Shilla.”

“nama yang cantik sekali, seperti orangnya. Hehe.” Ia terkekeh. Semburat merah merona tampak dikedua pipi mulusku. Aku hanya menunduk malu.

“wah, sudah sampai. Ayo mbak kita turun.” Ia menarik lenganku, lalu memberikan selembar uang kertas sepuluh ribuan pada sang kondektur seraya mengarahkan jari telunjuknya padaku. Hey, dia membayarkan ongkosku! Pria baik hati. Tapi, aku merasa tak enak hati padanya. Dia yang memberiku tempat duduk, dia juga yang berdiri demi aku, orang yang baru ia kenal, tetapi dia juga yang membayarkan ongkosku.

“kau membayarkan ongkosku?” tanyaku ragu.

“iya. Tenang saja mbak, tak perlu repot-repot diganti kok. Hehe.” Ia terkekeh lagi

“ta tapi…aku merasa tak enak hati padamu. Kau yang sengaja memberiku tempat duduk yang nyaman hingga kau harus berdiri, tetapi kau juga yang membayarkan ongkosku.” Aku menyodorkan selembar uang kertas lima ribuan padanya. Ia menolak secara halus.

“simpan saja uang mbak ini. Mungkin akan berguna nanti.”

Kami terdiam. Tak ada satupun dari kami yang berniat memulai perbincangan.

“rumah mbak dimana?” tanyanya memecah keheningan.

“di sana.” Tunjukku pada sebuah rumah berukuran cukup luas didepan sana.

“mau saya antar? Rumah saya berbelok ke arah gang kecil ini.” Ujarnya seraya menunjuk gang kecil disamping kami.

“tidak perlu. Sudah dekat ini kok. Kalau kau mau pulang, pulang saja.” Jawabku.

“baiklah. Kalau begitu saya pamit pulang.” Ia kembali menyunggingkan seulas senyum. Aku membalas senyum itu. Aku merasakan hal aneh dalam hatiku. Jantungku berdetak tak karuan, seperti ingin melompat dari tempatnya. Ya tuhan…maha besar engkau. Maha besar kau telah menciptakan makhluk tampan, dan baik hati ini.

“mbak Shilla.” Ia menyerukan namaku ketika aku mulai jauh dari gang kecil itu. Rupanya ia tak benar-benar berlalu. Aku menoleh.

“mm…kapan-kapan, boleh tidak kalau aku. . .berkunjung kerumahmu?” Aku tergugu. Deburan ombak dalam hatiku kembali bergejolak. Benarkah itu? Apakah aku tidak salah mendengarnya? Aku putuskan untuk memberikan anggukan kecil. Dia kembali tersenyum, melambaikan tangan dan berlalu, benar-benar berlalu.


***


Dirumahku tak ada siapa-siapa. Ayah dan bunda tengah bekerja. Kakakku sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Entah mengapa, aku tiba-tiba rindu pada kakak tercintaku itu. Kakak sedang apa ya disana? Apakah kakak memikirkan aku, seperti aku mekikirkanmu juga? Aku rindu padamu kak, sangat rindu. Apakah kau juga merasakan hal yang sama denganku?

Aku beranjak dari tempat tidurku. Lalu ku ambil sebuah buku bersampul fotoku dan kakakku. Buku Diary. Aku selalu mencurahkan semua hal yang aku alami padanya, setelah kakakku tiada.


Dear Diary…


September.

Aku kembali menemukannya,

Aku kembali merasakan sentuhan hangatnya,

Ia yang slama ini ku anggap semu,

Kali ini tampak begitu nyata dihadapanku,

Membuaiku dengan senyuman manisnya,

Menghanyutkan ku dengan sentuhan hangatnya.

Cinta seorang…Mario.

Pria sederhana yang datang membawa sesuatu untukku,

Membawa dua buah sayap malaikat yang slama ini ku nanti,

Menyuguhkan sebuah kesederhanaan dan kebaikan hati.


Aku menutup buku diaryku, dan meletakkan penaku. Benarkah ini? Aku…aku jatuh cinta padanya? Aku mengacak rambutku asal, membuatnya berantakan. Ku rebahkan tubuhku diatas kasur. Aku mengingat-ingat kejadian tadi. Tiba-tiba kedua sudut bibirku tertarik keatas, membentuk seulas senyum.
 

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar