Selasa, 29 November 2011

Keadaan Tak selalu Berbanding Terbalik dengan Kenyataan (cerpen)

***

Aku akan menceritakan sebuah kisah padamu. Kisah yang mungkin pernah kau dengar sebelumnya. Tapi ini kisahku, kisah yang memilukan hati. Semoga kalian tak bernasib sama sepertiku.


Aku tak bisa berjalan sejak lahir. Kakiku lumpuh,mmm…atau bisa kau katakan cacat. Ku jalani hariku seperti biasa. Tak pernah aku menyesali apa yang tuhan takdirkan untukku. Bahkan aku selalu menganggap diriku orang yang sangat beruntung. Tentu saja! Aku mempunyai bunda, sahabat, ketiga adik, dan teman-teman yang menyayangiku, dan terutama Tuhan tempatku mengadu. Ayahku sudah meninggal dua tahun lalu.


Aku memang memiliki tiga orang adik. Adik pertamaku bernama Alvin, dia sangat angkuh dan sangat membenciku. Bahkan ia seperti menganggapku mati.


Adik keduaku, bernama Shilla. Dulu dia memang anak yang baik. Setelah Alvin menyeretnya lebih jauh untuk tak menghiraukanku, ia mulai tak acuh padaku. Ia sering membuang muka, saat aku menampakkan seulas senyum diwajahku. Meskipun ia tak berani membentakku.


Adik ketigaku, bernama Sivia. Dialah adikku satu-satunya yang benar-benar menyayangiku. Tak jarang ia juga membantu semua pekerjaan rumahku. Mengepel, mencuci baju, menyapu, mencuci piring bahkan menjemur pakaian. Tak pernah sekalipun ia mencercaku. Tutur bahasanya yang sopan dan lembut serta kecantikannya yang diiringi kedua lesung pipi, semakin membuatnya disukai banyak pria.


Bunda. Ia selalu sibuk. Tapi aku tak pernah sekalipun membenci bunda. Toh dia bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami juga, bukan? Sikap bunda memang berubah setelah ayah meninggal. Jika beliau pulang, ia hanya menyapa ketiga adikku saja, sedangkan aku? Tak pernah lagi ia menghampiriku. Tapi aku tak pernah mempermasalahkannya. Selama aku diijinkan tinggal disini, bukannya aku harus berterima kasih?




***




Awan kelabu bergelayut manja diatas langit. Sore ini hujan turun dengan sangat deras. Ku sibak dua jendela kamarku, ingin melihat dengan jelas rintik demi rintik air hujan. Aku tersenyum tipis. Ku ambil sebuah notes kecil yang tergeletak pasrah diatas meja belajarku. Ku curahkan semua opiniku tentang hujan.


Hujan..
Karunia tuhan yang paling menawan.
Rintiknya yang memberi kesan.
Sanggup membuatku serasa di angan.

Hujan..
Aku tak ingin sepertimu.
Menangis disetiap waktu.
Menampakkan suasana pilu.
Dengan irama sendu.


Ku letakkan kembali notesku itu diatas meja. Lalu beranjak menuju ruang keluarga. Sepi. Kemana penghuni rumah ini? Sorot mataku tertuju pada adik ketigaku, Sivia. Ia tengah menyapu ruang keluarga. Aku menghampirinya dan memberikan seulas senyum.


“sini Vi, biar kakak saja yang melanjutkan.” Aku akan mengambil gagang sapu, tapi Sivia menjauhkannya dariku.


“gak usah kak, biar Via aja yang nyapu. Kata orang, nanti jodoh Via malah jadi jodoh kakak. Hehe” ujarnya seraya terkekeh. Aku tahu sifatnya. Dia memang tak ingin membuatku repot.


“Ify, gue sama shilla laper. Cepetan masak, gak pake lama.” Suruh Alvin tegas. -Ify, nama panggilanku. Alyssa Saufika adalah nama lengkapku.– Sivia menggeleng. “tidak sopan.” Katanya pelan, tetapi masih bisa kudengar karena ia berdiri tepat disamping kursi rodaku. Ia menyentuh pundakku dan terseyum.


“biar Via aja yang masak kak.” Katanya menawarkan diri. Aku tak mau merepotkannya lagi. Aku menggeleng cepat, dan segera mendorong kursi rodaku menuju dapur. Sivia mengerti perasaanku, ia kembali meneruskan pekerjaannya.


Aku memasak nasi goreng kesukaan Alvin dan Shilla. Aku berfikir sejenak dan melamun. Aku menitikkan air mata, aku teringat ayah. Ayah..aku ingin bertemu denganmu lagi, aku rindu. Andaikan aku dapat menawar semua rencana tuhan, aku akan sangat rela bertukar tempat denganmu. Tapi rencana tuhan bukan dagangan, yang bisa aku semauku.


Bau apa ini? Hidungku mulai mengendus-ngendus bau tak sedap. Sedetik kemudian aku tersikap. Nasi gorengku! Ku lihat masakan nasi gorengku, gosong! Aku bisa dihajar Alvin habis-habisan. Gawat! Segera aku matikan api dari kompor gas dan menuangkan nasi  goreng –gosong- itu kedalam piring. Tadinya aku akan menggantinya, tetapi karena Alvin sudah memanggil-manggil namaku, aku segera mengantarkan nasi goreng –gosong- itu kedalam kamar Alvin.


“lelet banget sih bikin nasi gorengnya. Gue udah laper tau!” gertak Alvin. Aku hanya menunduk takut.


Alvin mulai memasukan satu sendok nasi goreng –gosong- itu kedalam mulutnya, setelah itu ia memuntahkannya kembali, tepat kearah wajahku. Aku semakin takut, dan menunduk dalam. Ingin menangis rasanya saat itu. Shilla yang melihat itu hanya terdiam. Aku bisa merasakan, ia sepertinya iba padaku. Tapi apadaya, dia tidak bisa berbuat apa-apa.


“makanan apaan ni? Gak enak banget, pahit. Lo mau bunuh gue sama Shilla?” tanyanya membentak. Riakan kecil dipipiku mulai turun perlahan. Aku menengadahkan kepala, dan menatap Alvin dengan perasaan takut.


“maaf Vin, kakak gak sengaja. Tadi kakak ngelamun, pas kakak sadar nasi gorengnya udah gosong.” Ujarku polos disertai tangisan iba. Alvin Nampak geram. Ia menatapku dengan tatapan sinis sekaligus benci.


“gak usah mewek, air mata lo tuh gak bakalan bisa bikin gue kasian sama lo! Dan satu lagi, emangnya lo tinggal disini Cuma buat ngelamun hah? UDAH CACAT KERJA GAK BECUS PULA. MAU JADI APA LO?” bentak Alvin kasar. ‘JDERR’ Hatiku mencelos, tulang-tulangku serasa dilucuti hingga berceceran dilantai.


BRAKK


Bantingan pintu membuatku terlonjak kaget. Aku segera menoleh kearah pintu. Kulihat Sivia tengah berdiri disana dengan air mata yang bercucuran. Wajahnya memerah. Aku sangat hafal sifatnya. Ia sedang marah besar pada Alvin. Sivia memang takkan membiarkan seorangpun menghinaku, termasuk bunda sekalipun.


“KAK ALVIN JAHAT! KAKAK ITU GAK PUNYA HATI, HAH? KAKAK FIKIR KAKAK SIAPA? TUAN RUMAH? SEENAKNYA NYURUH-NYURUH KAK IFY. DIA BUKAN PEMBOKAT LO!” Sivia membentak Alvin dengan sangat kasar. Dan dia bilang apa tadi? Elo? Hey, baru pertama kalinya aku mendengar dia berkata demikian. “Kalau emang mau makanan yang sesuai sama selera lo, bikin sendiri. Elo masih punya tangan sama kaki kan?” Tanya Sivia sinis. Tangisku semakin menjadi.


PLAKK


Tamparan keras Alvin mendarat tepat dipipi mulus Sivia. Aku tercengang, tak mampu berkata apa-apa.
“Elo udah berani sekarang ya ngelawan gue. Pasti gara-gara dihasut sama kakak kesayangan lo itu kan.” Ujar Alvin tak kalah sinis. Aku mulai menggerakan rodaku, keluar dari kamar Alvin. Kejadian ini, sangat tidak aku sukai. Sivia mengekoriku, tanpa membalas perkataan Alvin. Sivia tau, aku pasti sangat kecewa.


“kakk” panggil Sivia halus seraya mengetuk pintu kamarku.


“tinggalin kakak sendiri Vi.” Teriakku pelan. Sivia mengerti, ia menyeruak masuk kedalam kamarnya yang berada tepat disamping kamarku.



***



Aku menyeret tubuhku untuk ku dudukkan dikursi rodaku. Masih terlalu pagi untuk membangunkan Sivia, batinku. Aku mencari sesuatu hal yang dapat aku kerjakan. Terdengar suara percikan air tepat didepan pintu kamarku. Siapa ya? Aku menggerakan kursi rodaku menyeretnya hingga depan pintu. Ku buka perlahan kenop pintu. Dan ku dapati sosok itu tengah mengepel lantai, dan tersenyum padaku.


“pagi kak. Aku kira kakak masih tidur tadi. Hehe” Ia terkekeh, aku hanya menyunggingkan seulas senyum.


“kakak mandi dulu ya Vi.” Pamitku. Sivia mengangguk kecil.



***



“Ify!! Mana sepatu gue?” Alvin berteriak.


“iya bentar Vin.” Kataku dan bergegas membawakan sepatu untuk Alvin.


“kerjaan lo lelet melulu. Sehari gak lelet bisa gak sih?” sinis Alvin. “oh iya, gue lupa. Lo kan cacat ya.” Tambahnya dingin. Aku hanya tersenyum miris mendengarnya.


“kak Alvin ayo berangkat, nanti kesiangan.” Shilla menyembul dari balik pintu utama, dan memalingkan wajah saat melihatku. Sivia datang mengekori shilla. Lantas kami berempat bergegas menuju sekolah.




***




Hanya tinggal 2km lagi jarak jalanan menuju sekolah. Alvin menyisi dan memberhentikan mobilnya.


“turun lo.” Perintah Alvin. Ia menyeretku keluar dari mobil, dan mengeluarkan kursi rodaku.


“jangan kak, kan masih lumayan jauh.” Pekik Sivia. Sivia ingin menyusulku, tapi Shilla mencekal lengannya dengan sangat kuat. Sabar. Hanya kata itu yang selalu aku cetuskan dalam otakku. Sudah beberapa hari belakangan ini saat Sivia tidak masuk sekolah, ia selalu menurunkanku ditengah jalan. Dan sekarang ia kembali menggencarkan aksinya itu.


“lo jangan bilang sama siapapun kalo gue, shilla dan sivia adek lo. Dan ingat! Gak boleh ada seorangpun yang tau gue lakuin ini ke elo selain kita. Kalo sampe nyebar, tunggu akibatnya. Aku mengangguk dan tersenyum, senyum kepedihan tentu saja. Riakan kecil membasahi pipiku, sivia terus menyerukan namaku dari dalam mobil yang mulai lekang dari pandanganku.




***




Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Seperti biasa aku menunggu adik-adikku disini. Sudah lima belas menit aku menunggu, tapi tak ada tanda-tanda kedatangan mobil Alvin. Hujan deras tiba-tiba saja mengguyur, aku segera menepi.


“kamu sendirian?” seseorang yang tidak ku kenal menghampiriku.


“I iya.” Jawabku ketakutan.


“kamu gak usah takut, aku bukan orang jahat kok. Nama kamu siapa? Kenalin, aku Mario” ia mengulurkan tangannya padaku, seraya tersenyum tulus.


“ify.” Jawabku singkat.


“rumah kamu dimana? Aku anterin, gimana? Kebetulan aku bawa mobil, tapi pas lihat kamu disini, aku keluar buat nemenin kamu.” Kata-katanya yang tulus menggetarkan setiap detak irama jantungku.


“disana.” Aku mengarahkan jemari telunjukku pada jalanan lenggang. Ia tersenyum. Hujan mulai reda. Ia berlari kearah mobilnya, menjalankannya dan memberhentikannya tepat dihadapanku. Aku yang pada dasarnya tak pernah berfikiran negative tentang orang, ya aku percaya saja pada rio. Apalagi, tutur katanya dan senyumnya yang bisa langsung memikat hati wanita manapun.


Ia membopongku menuju jok depan mobil disamping pengemudi, dan memasukkan kursi rodaku dibelakang jok kemudi. Deru mobil memecah keheningan, jalanan yang begitu lenggang leluasa membuat rio menjalankan mobil dengan kecepatan penuh.


“kamu kok baik sih sama aku? Kan kita baru kenal.” Kata-kata itu tiba-tiba saja keluar dari mulutku. Aku langsung menoleh kearah rio, takut-takut dia berfikiran macam-macam tentangku. Dia malah terkekeh kecil.


“emangnya kalo baru kenal gak boleh dibaikin ya?” tanyanya balik. Aku hanya menggeleng dan kembali memfokuskan pandanganku pada jalanan.


“rumah kamu yang mana sih?” ia kembali menanyaiku.


“rumah itu, yang pagarnya menjulang tinggi.”


Kami sampai didepan rumahku. Aku berterimakasih dan mengajak rio untuk mampir, tetapi ia menolak. Sudah petang katanya. Aku melambaikan tangan saat mobil rio berlalu. Tepukan halus dipundakku membuat aku kaget, aku takut kalau itu bunda atau Alvin.


“itu siapa kak? Pacar kakak ya? Ciee kakak tercantik Via udah dapet pacar ni.” Goda Sivia. Aku menoleh cepat. Semburat merah merona dipipiku membuat aku tertunduk malu.


“itu teman kakak kok dek.”


“teman apa teman? Asik Via punya kakak ipar.” Girang Sivia. Aku hanya geleng-geleng melihat tingkahnya. “ayo masuk.” Sivia mendorong kursi rodaku hingga masuk kedalam rumah




***




Pendekatanku dengan rio berjalan lancer, tak ada hambatan sama sekali. Bahkan kini kami telah terikat oleh satu kata yang anak-anak muda sekarang menyebutnya ‘pacaran’. Rio mengeluarkan ucapan itu langsung, tanpa disertai kata-kata romantic apapun. Aku menerima apa adanya. Kini genap lima hari hubungan kami berjalan baik. Tapi aku lihat ada yang aneh. Ya, ada yang aneh dengan salah satu sifat adikku, Shilla. Dia selalu mengurung diri didalam kamar. Aku tak tega melihatnya.


Saat itu aku tengah membereskan tempat tidurku. Aku sempat tak sengaja mendengar racauan Shilla, dia membubuhkan kata Rio dipenghujung kalimatnya. Aku tahu, ia pasti menyukai Rio. Sebaiknya sebagai kakak, aku harus mengalah, batinku.


Sore ini hingga malam hujan turun dengan sangat deras. Aku tengah menunggu seseorang dengan cemas diruang tengah, ditemani Sivia. Alvin, ya adikku yang pertama itulah yang membuatku cemas. Ia tak kunjung pulang dari sore tadi. Hujan malah semakin deras. Gemuruh petir sempat mengagetkan kami, dan sesering mungkin kami mengucapkan istighfar.


TULILIT TULILIT


Telpon rumah kami berdering. Sivia segera berlari tergopoh dan bergegas mengangkatnya. Hawa tak tenang kembali menggelayuti hati dan fikiranku.


“iya, benar. Ini siapa?”


“kak Alvin? Ada apa mbak?”


“hah? Innalillahi.. sekarang dia ada dimana?”


TUTT TUTT TUTT


Sivia mengakhiri sambungan telpon. Matanya berkaca-kaca. Ia memelukku, dan menangis sejadi-jadinya.


“kak..kak Alvin kecelakaan.” Ujar Sivia ditengah-tengah tangisnya.


“innalillahi.. sekarang dia dimana Vi?” aku tak kalah  kagetnya, dan mulai menitikkan air mata.


“dirumah sakit harapan bunda.” Tanpa ba-bi-bu aku langsung meraih handphoneku, handphone pemberian Sivia tepat dihari ulang tahunku yang ketujuh belas. Ku tekan beberapa nomor yang sudah aku hafal diluar kepala.


“hallo yo..”


“hallo fy. Ada apa? Kok kamu nangis?”


“bisa nggak kamu anter aku? Alvin kecelakaan, dia sekarang ada dirumah sakit harapan bunda.”


“iya, aku segera kesana.”





***




Kami berlari tergopoh menuju salah satu ruangan yang disebutkan oleh suster ditempat Check-Up. Kami segera menyeruak masuk. Kudapati Alvin tengah tertidur pulas, dengan perban dimana-mana.


“permisi mbak, orang tuanya ada?” Tanya seorang pria dengan perawakan tegas, yang mengenakan baju putih, dokter.


“saya kakaknya dok.”


“bisa ikut saya sebentar?” aku mengangguk, lantas meninggalkan ketiga adikku. Rio mengekori ku.


“ada apa sama adik saya dok?”


“begini mbak, benturan kelas dikepala Alvin membuat otaknya sedikit terganggu. Tetapi bukan itu yang difatalkan. Syaraf mata Alvin mati setelah benturan keras itu.”


“apa…Alvin akan mengalami kebutaan dok?”


“ya, kemungkinan besar begitu. Tapi masih bisa ditolong kok mbak, asal ada yang mau mendonorkan matanya untuk Alvin.”


Aku berfikir sejenak, dan meninggalkan ruangan dokter. Tak henti-hentinya aku menangis. Rio memelukku dan menenangkanku.




***




Hari demi hari telah terlewati. Tapi keadaan Alvin tak kunjung membaik. Alvin depresi berat, karena ia sekarang buta. Ia bertingkah bak orang kesurupan dan tak mau seorangpun mendekatinya, termasuk bunda. Kami semua selalu mendapatkan semprotan kemarahan Alvin. Ditambah bunda, yang selalu menyalahkanku atas kejadian itu.


Pagi ini aku menelpon rio, dan mengajaknya bertemu ditaman dekat komplek perumahanku senja nanti. Kini senja telah hadir, memulas petang. Kami terdiam, tak ada seorangpun yang membuka pembicaraan.


“yo, aku udah buat keputusan.” Ujarku memecah keheningan. Rio menautkan kedua alisnya, heran.


“keputusan apa?” Tanya Rio.


“aku ingin mendonorkan mataku, untuk Alvin.”


“hah?” rio terlonjak kaget. “kamu yakin fy?” tanyanya ragu. Aku mengangguk.


“aku sudah fikirkan keputusan ini bulat-bulat yo. Aku gak tega lihat Alvin setiap hari mengamuk. Aku rela berkorban apapun untuknya, meskipun tak seberapa.” Balasku. Ya, bagiku itu memang tak seberapa. Tapi mungkin bagimu itu berat dan sulit.


“baiklah. Apapun keputusanmu, kuharap itu yang terbaik untukmu.” Inilah sifat rio yang paling aku suka. Dewasa, dan pengertian. Rio lantas mendekapku, sangat erat. Seolah tak mengijinkan barang anginpun membuat sekat diantara kami.


“aku tak akan pernah melupakanmu, Mario. Dan maafkan aku jika selama ini merepotkanmu.” Ujarku saat rio mulai melepaskan dekapannya.


“aku juga, selamanya. Kau anugrah terindah yang pernah kumiliki.”


“yo, aku minta satu permintaan terakhir padamu. Boleh?”


“ya, tentu saja. Apapun akan akan aku lakukan.”


“aku ingin kau mencintai adikku, Ashilla. Ku rasa ini memang lancang, tapi dia menyukaimu lebih dari yang aku tau.”


“aku tak menaruh rasa sedikitpun padanya. Aku hanya menganggap ia sebagai adikku, tak lebih.”


“aku mohon yo, penuhin permintaan terakhir aku.” Rio Nampak iba, dan mengangguk pertanda setuju.




***




Takdir telah mengikatmu.
Pusaran waktu terus menelan masa mu.
Hanya tinggal kenangan yang begitu pilu.
Menggoreskan tinta kepahitan didalam kalbu





***




Hari membahagiakan tiba. Hari dimana Alvin akan melakukan operasi cangkok mata. Ada pendonor yang berbaik hati yang ingin mendonorkan separuh dari dirinya untuk Alvin. Bunda, Shilla dan Sivia harap-harap cemas didepan ruang Alvin dioperasi. Bunda meracau tak jelas, dan menyebut-nyebut namaku. Sepertinya ia sangat ingin memarahiku.
Operasi berjalan dengan lancer, tanpa ada hambatan sedikitpun. Alvin bisa melihat lagi. Rio berjalan menghampiri keluargaku. Dia memeluk adikku Sivia dan Shilla.


“kak…kak Ify mana?” Tanya Via. Rio menunduk, tak ingin menampakkan kesedihannya terlalu mendalam. Lantas ia mengambil handphone dari saku celananya, dan memperlihatkan sebuah foto yang bergambar senyum terakhirku saat sebelum melakukan operasi.


“Ify yang mendonorkan matanya untuk Alvin.” Semua menoleh kearah Rio, alvinpun demikian, ia sudah siuman.


“bohong! Kak Ify masih adakan?” Tanya Alvin lemah. Ia menitikkan air mata.


“aku tidak pernah berbohong. Kalau kalian tidak percaya, aku antarkan menuju tempat peristirahatan terakhirnya.”
Semua percaya, tentu saja. Mana mungkin seorang Mario berbohong. Bunda terlihat sangat terpukul, tangisnya pecah. Ia menyerukan namaku, tetapi bukan untuk dimarahinya. Alvin, yang tadinya begitu angkuh kini menangis tersedu. Rio masih terus menenangkan kedua adik perempuanku, dan menyatakan rasa suka pada Shilla, walaupun terlihat sangat tidak tulus dari kata-katanya.




***




Tuhan memang selalu adil atas semua takdirnya,

Ia tak pernah membandingkan yang cacat dengan yang sempurna.

Tuhan sangat menyayangiku.

Lihat saja takdirnya begitu indah terlukis untukku.


Pengorbanan.

Satu sisi malaikat yang tertanam dihati manusia.

Pernahkah kau berkorban untuk orang disekelilingmu?

Pernah?

Ku berikan aplouse besar-besaran untukmu.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar