Jumat, 25 November 2011

Dear Diary (part 3)


***


Luka itu..

Luka lama, yang sempat mencerca habis terangnya cahayaku

Luka yang sempat kau torehkan tepat diulu hatiku.

Menggoreskan tinta kepahitan yang akan terus berbekas.


Luka itu..

Kini hadir kembali dikehidupanku.

Menyuguhkanku dengan wujud lain, wujud setetes air.

Setetes air kesejukan, yang akan membasuh luka lamaku.



***



Waktu terus berputar.

Seiring bergulirnya waktu, aku mulai melupakannya. Kini genap empat bulan kejadian pahit itu berlalu. Tak pernah lagi aku melihat senyumnya, sosok tampannya, kebaikan hatinya semenjak kejadian itu. Ia menghilang, entah kemana. Sempat aku berfikir untuk mengunjungi rumahnya, tapi impian itu tak pernah erwujud. Berulang kali aku mengurungkan niatku itu. Takut. Alasan itulah yang selalu tertanam didalam benakku. Ya, aku takut. Aku takut dia kembali menyakitiku, aku takut dia membenciku, aku takut dia menanyaiku yang macam-macam, aku takut..aku takut!

Aku tengah berkutat dengan laptopku. Tugas yang dosen berikan terus mengalir bak air dari atas gunung. Suara ketukan dari arah daun pintu kamarku, tak ku hiraukan. ‘ceklek’ seseorang sepertinya membuka kenop pintu. Aku menoleh sekilas, lantas kembali melanjutkan aktivitasku yang sempat tertunda.


“aku ketuk-ketuk pintunya dari tadi, kok gak dibuka sih? Udah kesel tau gak ngetukin pintu rumah sama kamar kamu berulang kali gak ada yang nyahut.” Celoteh Sivia yang hanya ku balas dengan senyuman.

“Alvin gak ikut?” tanyaku tanpa mengalihkan sedikitpun pandanganku dari layar laptopku.

“kamu nanya sama aku atau sama laptop kamu sih?” Tanya Sivia sedikit kesal. Aku menoleh, dan kembali mengulang pertanyaanku.

“Alvin…” belum sempat aku menyelesaikan pertanyaanku, Sivia langsung memotong.

“engga.” Jawabnya datar.

‘dasar ambekan, susah nih kalau udah kayak gini.’ Batinku.

“maaf deh. Tadi aku gak maksud nganggurin kamu. Kan kamu tau, tugas kita banyak banget terus waktunya juga Cuma satu hari.” Ujarku meminta maaf seraya menerangkan. Sivia tidak menjawab, ia mendekatiku. Ia menyeret salah satu kursi yang terletak didepan meja belajarku, lantas meletakkannya tepat disampingku, dan mendudukinya.

“Shill! Kamu…masih ingat rio?”

“hah?” aku terlonjak kaget, sedetik kemudian ku beri anggukan kecil pada Sivia.

“kemarin aku ketemu rio dijalan. Kamu tau gak apa yang terjadi sama rio?” aku menggeleng, Sivia kembali melanjutkan ucapannya. “dia tambah ganteng. Tapi….pipi kanannya lebam. Kayaknya habis berantem deh.” Terang Sivia.

“be beran. .tem?” tanyaku ragu. Sivia mengangguk.

“kamu ketemu dia dimana Vi?” rasa penasaranku tanpa sengaja kembali merobek perih yang pernah ia torehkan, dan membuatku kembali memunculkan asa yang selama ini ku kubur rapat-rapat.

“di jalan apa ya? Aku lupa.” Aku menunduk dalam. Asa memang akan terus menjadi asa.

“tapi Shill…mmm aku kayaknya tau deh salah satu pusat perbelanjaan yang sempet gak sengaja aku lihat.” Aku berdiri, dan menutup laptopku. Lantas mengambil kunci mobil diatas meja belajarku dan menyeret lengan Sivia menuju jok mobilku.



***



Mobilku melesat membelah jalanan yang tidak begitu lenggang. Mobilku menyelip, dan meliuk-liuk diantara para pengendara lainnya. Aku tak ingin membuang waktuku, hingga ku tarik tuas gigi, dan kembali mempercepat laju mobilku.


“itu Shill didepan! Tadi kita ketemu disana.” Ujar Sivia bersemangat. Aku membelokkan mobilku, dan berhenti tepat didepan pusat perbelanjaan.

“tadi rio kearah mana Vi?”

“kayaknya masuk ke gang kecil itu deh Shill.” Setelah Sivia memberikan intruksi, aku segera melajukan kembali mobilku. Jalan buntu, batinku. Aku menoleh geram kearah Sivia.

“hehe maaf Shill. Lupa. Ayo kita balik lagi.” Aku menarik tuas gigi mobilku kearah belakang, dan menginjak gas dengan kecepatan penuh.

“eh Shill, gak usah pake nafsu! Jalanin mobilnya pelan-pelan. Kita pasti ketemu rio lagi kok. Shill, jangan nekat. Awas shilla…..” celoteh Sivia terhenti, aku mengerem sekuat tenaga. Seketika itu, terdengar bunyi ‘Brak’ tepat dari arah belakang mobilku. Aku menutup kedua mataku saat suara itu memekak telingaku. Setelah itu ku buka perlahan mataku, dan beranjak keluar dari mobilku. Sivia pun melakukan hal yang sama. Kami berjalan sedikit mengendap.

“heh! Kalian itu bisa bawa mobil gak sih! Liat tuh barang gue rusak semua. Pokoknya gue gak mau tau, kalian mesti ganti!!” seorang pria berpostur tinggi dengan rambut sedikit gondrong menyembul dari balik mobil belakangku. Aku terkaget-kaget. Ku kira telah menghilangkan satu nyawa tadi. Huh, aku mendesah lega. Sedetik kemudian aku tersenyum. ‘Pria ini tampan juga, hanya saja penampilannya agak urak-urakan’ batinku

“eh, malah bengong lagi. Pokoknya gue gak mau tau! Lo mesti ganti semua barang gue!” gertaknya.

“berapa?” aku merogoh kocek, mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu.

“orang kaya. Gue gak butuh duit lo!” Ia mengibaskan jemarinya tepat didepan wajahku. Tidak sopan sekali, bukan?

“heh, mau kamu itu sebenernya apa? Kita udah mau ganti kok semua kerugian kamu. Jangan bikin kita naik darah yah.” Ujar Sivia dongkol.

“gue gak butuh duit kalian. Gue Cuma butuh raga kalian. Sekarang lo berdua anterin semua barang-barang gue, tapi gak boleh pake kendaraan apapun! Itu mobil lo, gie sita dulu.” Terangnya seraya menyodorkan secarik kertas yang berisi alamat-alamat rumah yang mesti aku dan Sivia tuju. ‘Pria ini tampan juga, hanya saja penampilannya agak urak-urakan’ batinku

Aku dan Sivia melongo, “eh eh, enak aja. Gak bisa gitu dong! Lo kan Cuma ‘minta ganti’, bukannya minta anter.” Tukas Sivia.

“kalau lo berdua gak mau, gue bisa laporin kalian berdua ke polisi.” Tantangnya.

“huh, beraninya ngadu!” Tanpa ba-bi-bu Sivia langsung meraih kertas itu dengan gerakan cepat. Dengan terpaksa aku dan Sivia mulai menjejakkan kaki, menelusuri beberapa alamat yang kami tuju. Tanpa kami sadari, dari kejauhan pria itu tersenyum. Senyum misterius. Lalu beranjak pergi menggunakan mobilku.



***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar