Jumat, 25 November 2011

Dear Diary (part 2)

Pertemuan.

Satu kata yang takkan pernah ku sesali.

Takkan pernah ku sesali, pertemuanku denganmu.


***


Jalanan masih sangat lenggang. Ku tengok arloji yang ku kenakan di tangan kiriku. Pukul 05.31. Pantas saja, jalanan masih sangat sepi. Ku jejakkan kakiku, menelusuri komplek perumahan ini. Sudah lama tak berjalan santai menuju kampus sepagi ini. Sudah banyak yang berubah rupanya.

Jalanku terhenti. Sepertinya ada suara langkah kaki yang mengikutiku. Aku menoleh terpaksa ke arah sumber suara. Tak ada siapa-siapa! Bulu kudukku mulai meremang. Merinding. Ku percepat ritme ayunan langkah kakiku. Suara itu masih saja mengikutiku. Masa bodoh, batinku.

Aku terhenyak. Ada yang menepuk pelan pundakku. Jantungku berdetak semakin kencang, aliran darahku mengalir lebih cepat dari biasanya. Aku menunduk seraya berkomat-kamit.

“s si si sia . . pa?” Tanyaku terbata, dengan nada suara gugup.

“…” tak ada jawaban. Aku menelan ludah. Ku ulangi pertanyaannku yang sebelumnya.

“siapa kamu?”

“ini saya mbak, Mario.” Hah? Rio? Aku segera menoleh. Ku dapati Rio tengah tersenyum jahil ke arahku. Aku memanyunkan bibirku. Oh, tengah mengerjaiku rupanya.

“kenapa mbak?” tanyanya tanpa dosa.

“tak apa.” Jawabku singkat. Ku langkahkan kembali kakiku, meninggalkan Rio.

“mbak, marah ya? Maaf deh. Saya kan hanya bergurau.” Ujarnya setelah berhasil mensejajarkan derap langkahnya denganku.

“untuk apa marah? Tak ada untungnya. Dan satu lagi, jangan panggil saya mbak. Panggil saja saya Shilla”

“baiklah, Shilla. Oh iya, kamu kuliah jurusan apa?”

“kedokteran.”

“wah, calon ibu dokter rupanya. Hehe. Asik juga ya, kalau punya istri seorang dokter.” Ia menerawang.

“hah?” Aku mendelik ke arah Rio. Masih SMA kok sudah memikirkan menikah. Ada-ada saja.

“kenapa Shill? Aku salah bicara?” tanyanya seraya memperhatikanku.

“tidak. Kamu sekolah dimana?” tanyaku mengalihkan topic pembicaraan.

“SMA N 13 Jakarta *just story, klo salah maaf yak. Hehe :P* Oh iya, aku juga akan mengambil jurusan kedokteran sama sepertimu. Shill, aku duluan ya.” Pamitnya seraya melambaikan tangan dan tersenyum menawan. Ah, senyum itu, membuat jantungku kembali berdegup kencang.


***


Aku tengah terdiam, mataku terfokus pada buku Novel yang tengah ku baca. Pekerjaan rumah telah ku kerjakan dirumah, namanya juga pekerjaan rumah. Gebrakan keras dipintu masuk, membuatku terlonjak kaget, sampai harus mengurut dada setelahnya. Ku tengok siapa biang onar dari masalah ini.

“muka lo garang amat shill.” Ujar Alvin –kekasih sahabatku, Sivia- setelah duduk dikursi depan kursiku.

“ck” aku hanya berdecak, dan kembali memfokuskan pandanganku pada Novel digenggamanku.

“shill, nanti malam ada acara pensi loh disekolah kita. Mau ikut gak?” Tanya Sivia.

“gak ah, males.” Jawabku seadanya, tanpa mengalihkan fokusku.

“beneran nih gak mau? Ada bintang tamunya loh Shill. Cowo, cakep pula.” Ujarnya seraya menerawang sosok lelaki yang akan menjadi bintang tamu diacara pensi kampus ini.

“ekhm.” Alvin berdehem keras.

“kenapa Vin? Cemburu ya?” Goda Sivia pada Alvin. Alvin mengangguk.

“okedeh, aku ikut. Pukul berapa?”

“setengah tujuh malam. Nanti aku sama Alvin jemput kamu.” Aku mengangguk pelan.


***


Riakan hujan perlahan mengguyur bumi. Membuat jalanan basah karenanya. Aku tengah bersiap, mengenakan dress ungu muda selututku dengan lengan pendek sebahu. Ku geraikan rambut hitamku. Polesan make-up membuatku semakin terlihat mmm…cantik. Hehe. Ku ambil buku diary dan penaku.


Dear Diary…


Burung, tolong aku…

Tolong sampaikan padanya, aku rindu..

Angin, tolong aku...

Tolong hembuskan padanya debar jantungku saat bertemu dengannya.

Mentari, tolong aku…

Tolong sinari langkahku agar tak salah memilihnya.

Pelangi, tolong aku…

Tolong hadirlah selalu untuk mewarnai hari-hari ku dengannya.

Dan Hujan..--

Suara raungan mobil serta klakson yang ditekan asal, membuatku segera menutup diaryku dan berlari terburu-buru menuju depan rumahku. Ku rebahkan tubuhku pada jok  belakang mobil. Sivia dan Alvin duduk dibagian jok depan. Aku mendesah pelan, siap-siap menjadi obat nyamuk, batinku.

Tak banyak hal yang kami perbincangkan diperjalanan. Yang terdengar disela  suara rintik hujan dan raungan mobil hanya rutukan Alvin pada jalanan didepan kami yang macet. Ku raih ponselku didalam tas kecil yang sengaja ku bawa. Aku membuka situs jejaring social twitter, yang saat ini tengah sangat popular. Jariku mulai lincah menari di atas keypad handphoneku. Aku mengupdate info terbaru tentangku.

@ShillaZahra Jalanan macet total-_-

Ku buka mentionku, siapa tau ada teman yang bernasib sama denganku. Benarkan! Banyak sekali yang me-Retweet statusku barusan. Dan…..siapa ini?

@MarioHaling sabar, orang sabar disayang saya *eh RT @ShillaZahra Jalanan macet total-_-

Tempat yang kami tuju telah didepan mata. Aku segera men-Sign Out account twitterku.

Guyuran hujan segera menyapa indera perabaku saat aku keluar dari mobil Alvin. Ku tutup pintu mobil dengan asal, dan segera berlari menepi menuju depan gedung. Kulihat Sivia pun melakukan hal yang sama, tetapi kepalanya dipayungi oleh telungkupan tangan Alvin. Uh, romantis sekali
.
Kami berjalan beriringan menuju dalam gedung. Ruangan sudah sangat ramai oleh para siswa dan siswi yang hadir. Kupandangi seluruh penjuru ruangan, mencari kursi kosong yang tersedia untuk kami. Di pojok kanan depan! Aku segera menyeret lengan Sivia paksa, tanpa memperdulikan si empunya lengan yang tengah meringis kesakitan karena ku tarik-tarik. Sampai, cetus otakku saat tiba dikursi kosong yang kami tuju.

“Shilla! pelan-pelan dong nariknya. Tangan aku sakit.” Celoteh Sivia –sebal- seraya memegangi pergelangan tangan kanannya.

“lo kira pacar gue sapi apa, maen tarik-tarik aja. Mana gue ditinggalin pula.” Tambah Alvin.

“maaf deh. Aku takut tempatnya ada yang dudukin. Ini kursi terakhir yang kosong.” Ujarku menerangkan maksudku menyeret lengan Sivia. Sivia hanya mengangguk.

Acara pembukaan dimulai. Kami mengikutinya dengan khidmat. Kini acara puncak dimulai . Semua penonton riuh, menunggu penampilan seorang pria muda dan tampan –begitu menurut Sivia- yang akan menyunguhkan sebuah lagu.

Jreng.. Suara petikan gitar pertama membuat penonton yang tadinya riuh, menjadi diam terpesona.

“sebelumnya saya ingin menyapa penonton terlebih dahulu.” Hey! Sepertinya aku kenal suara ini. Segera ku putarkan tubuh dan kepalaku menghadap panggung. Benar, itu dia! “selamat malam penonton, dan selamat malam…Ashilla.” Semua penonton menatap tajam kearahku. Aku terdiam, sesaat kemudian, aku mengangguk dan memberikan seulas senyum pada Rio.

“Shill, kamu kenal sama dia? Kenapa nggak bilang? Kenalin dong..” Sivia berbisik kearahku. Aku hanya tersenyum paksa.

“lagu pertama yang akan saya nyanyikan, berjudul Harmoni.” Rio mulai bernyanyi. Hening, semua penonton terpana akan penampilan Rio. Mario, ternyata masih memiliki kelebihan. Selain tampan dan baik hati, ia juga jago dalam bernyanyi. Aku hampir menitikkan air mata. Terharu tentu saja. Rio sepertinya sangat-sangat menghayati lagu itu. Sivia sudah terisak dipelukan Alvin. Aku hanya mengulur hati melihat Alvin dan Sivia, iri.

Rio beranjak menuruni panggung. Suara tepuk tangan penonton menggema dalam gedung. Ia mendekat kearahku. Jantungku mulai tak normal. Semburat merah merona menghiasi pipi mulusku.

“hay Shilla.” Sapa Rio setelah menduduki kursi kosong disebelahku.

“hay, aku Sivia sahabatnya Shilla. Suara kamu keren banget, aku sampai terharu gini.” Ujar Sivia menyerobot, seraya mengulurkan tangannya.

“aku Rio. Makasih ya.”

“gue Alvin bro, cowonya Sivia, sahabatnya Shilla juga.” Kini giliran Alvin berkenalan dengan Rio.

“Rio.”

“Yo, ayo kita pulang. Hujannya udah reda.” Seorang gadis cantik, tinggi, putih, dengan wajah tirus menyembul menghampiri kami.

“kita ngobrol-ngobrol dulu deh.” Ujar Rio.

“Shill, Vi, Vin, kenalin ini pacar aku. Namanya Ify.” Nafasku serasa tercekat ditenggorokan. Tubuhku lemas seperti disengat ribuan watt aliran listrik. Benarkah ini? Rio sudah….memiliki seorang kekasih? Aku menunduk dalam, mencoba menahan buliran air mataku agar tidak merembes keluar.

“kenapa Shill?” Tanya Sivia, ia Nampak khawatir.

“aku pengen pulang.” Ujarku dingin. Semburat merah yang menghiasi pipiku, kini luntur tak berbekas. Aku berdiri, dan segera berlari keluar gedung. Rio menyerukan namaku, tapi tak kudengarkan seruan itu. Air mataku mulai membentuk riakan kecil, membasahi kedua pipiku. Aku berlari sekuat tenaga. Hujan kembali turun, kali ini sangat deras. Aku menerobos guyuran air hujan, mencoba menepis kenyataan yang baru saja aku terima.


Mengapa?

Mengapa kenyataan itu datang begitu cepat?

Mengapa semuanya terkuak saat aku mulai menaruh hati dan harapanku padanya?


Tuhan..

Jika ini memang takdirku, berikan aku kekuatan..

Jangan engkau biarkan aku tersesat,

mengingkari semua takdir yang telah engkau gariskan untukku.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar